ilustrasi
TRIBUNJOGJA. COM - Ketua Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure (ID-SIRTII), Rudi Lumanto, memaparkan, Indonesia adalah negara asal peretas terbanyak di dunia.
Indonesia menempati urutan pertama dengan presentase 38 persen, mengungguli Tiongkok yang hanya 33 persen, disusul Amerika Serikat 6,9 persen, Taiwan 2,5 persen, Turki 2,4 persen, India 2 persen, dan Rusia 1,7 persen.
Sementara itu, pakar teknologi informasi sekaligus Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Informatika dan Ilmu Komputer, Richardus Eko Indrajit mengatakan, banyaknya pembobol di Indonesia karena kurangnya kontrol dari pemerintah, salah satunya banyaknya panduan tutorial cara menjadi peretas yang bisa dijumpai bebas di toko buku.
"Pernah ke toko buku enggak? coba lihat buku security, lebih banyak tentang cara menyerang apa bertahan? Isinya apa? langsung praktik. Ya udah dicoba, latihan," kata Eko.
Menjadi peretas, kata Eko, sangat mudah dilakukan di Indonesia karena petunjuknya sangat detil.
"Lihat saja di buku-buku di Glodok itu, cara menjadi hacker mudah dan praktis tinggal enter-enter, tidak perlu mikir tidak perlu ngitung Matematika. Semua sudah full downmenu, sudah ada users interface, gampang, orang enggak ngerti juga bisa menyerang," kata Rudi.
Selain itu, kecenderungan di Tanah Air, hacker melakukan serangan sebagai wujud protes.
"Sekarang anak muda kalau enggak seneng sama sesuatu gampang, sukanya nyerang lewat media digital, kalau dulu, kalau saya mukul orang, berantem, ditanya alasannya kenapa? Saya jawab karena orangnya sengak," papar Rudi.
"Kalau sekarang kan beda, kalau enggak suka sama orang serang aja situsnya. Jadi serangan secara non fisik, coba lihat, Indonesia versus Malaysia final badminton, sebelum final sudah serang-serangan di media sosial. Kalau kita dulu ributnya pas suporternya ketemu," kata dia.
Profesor Eko mengatakan, maraknya peretas di Indonesia tak lepas dari kian kritisnya anak muda Indonesia.
"Anak muda sekarang kan kritis-kritis, kalau dia tahu ada perusahaan yang keamanannya bolong, dia kirim surat. Suratnya tidak digubris, maka pikiran dia apa? Oh, berarti perusahaan ini sengaja menyembunyikan kekurangan dari pelanggan, lalu ditulis di media sosial, makanya direksi perusahaan kalau dapat surat begitu seharusnya malah merangkul," katanya.
Banyak peretas, kata Eko, yang saat ini penasihat keamanan di beberapa BUMN hingga perbankan.
"Sebenarnya mereka tidak mau jadi hacker, jadi mereka cuma pengen kasih tahu ada lubang di tempat Anda, tolong diperhatikan. Hacker di Indonesia pintar-pintar, kenapa enggak dirangkul dan menjadi konsultan keamanan kan bisa jadi revenue."
"Jadi industri tersendiri karena filosofinya tidak akan ada orang lain yang akan melindungi negara ini selain orang Indonesia sendiri," kata Eko. (*)
Source : Jogja.tribunnews.com
Indonesia menempati urutan pertama dengan presentase 38 persen, mengungguli Tiongkok yang hanya 33 persen, disusul Amerika Serikat 6,9 persen, Taiwan 2,5 persen, Turki 2,4 persen, India 2 persen, dan Rusia 1,7 persen.
Sementara itu, pakar teknologi informasi sekaligus Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Informatika dan Ilmu Komputer, Richardus Eko Indrajit mengatakan, banyaknya pembobol di Indonesia karena kurangnya kontrol dari pemerintah, salah satunya banyaknya panduan tutorial cara menjadi peretas yang bisa dijumpai bebas di toko buku.
"Pernah ke toko buku enggak? coba lihat buku security, lebih banyak tentang cara menyerang apa bertahan? Isinya apa? langsung praktik. Ya udah dicoba, latihan," kata Eko.
Menjadi peretas, kata Eko, sangat mudah dilakukan di Indonesia karena petunjuknya sangat detil.
"Lihat saja di buku-buku di Glodok itu, cara menjadi hacker mudah dan praktis tinggal enter-enter, tidak perlu mikir tidak perlu ngitung Matematika. Semua sudah full downmenu, sudah ada users interface, gampang, orang enggak ngerti juga bisa menyerang," kata Rudi.
Selain itu, kecenderungan di Tanah Air, hacker melakukan serangan sebagai wujud protes.
"Sekarang anak muda kalau enggak seneng sama sesuatu gampang, sukanya nyerang lewat media digital, kalau dulu, kalau saya mukul orang, berantem, ditanya alasannya kenapa? Saya jawab karena orangnya sengak," papar Rudi.
"Kalau sekarang kan beda, kalau enggak suka sama orang serang aja situsnya. Jadi serangan secara non fisik, coba lihat, Indonesia versus Malaysia final badminton, sebelum final sudah serang-serangan di media sosial. Kalau kita dulu ributnya pas suporternya ketemu," kata dia.
Profesor Eko mengatakan, maraknya peretas di Indonesia tak lepas dari kian kritisnya anak muda Indonesia.
"Anak muda sekarang kan kritis-kritis, kalau dia tahu ada perusahaan yang keamanannya bolong, dia kirim surat. Suratnya tidak digubris, maka pikiran dia apa? Oh, berarti perusahaan ini sengaja menyembunyikan kekurangan dari pelanggan, lalu ditulis di media sosial, makanya direksi perusahaan kalau dapat surat begitu seharusnya malah merangkul," katanya.
Banyak peretas, kata Eko, yang saat ini penasihat keamanan di beberapa BUMN hingga perbankan.
"Sebenarnya mereka tidak mau jadi hacker, jadi mereka cuma pengen kasih tahu ada lubang di tempat Anda, tolong diperhatikan. Hacker di Indonesia pintar-pintar, kenapa enggak dirangkul dan menjadi konsultan keamanan kan bisa jadi revenue."
"Jadi industri tersendiri karena filosofinya tidak akan ada orang lain yang akan melindungi negara ini selain orang Indonesia sendiri," kata Eko. (*)
Source : Jogja.tribunnews.com
0 komentar:
Posting Komentar